bilamana zaman streaming mengubah musik menjadi lumpur
bilamana zaman streaming mengubah musik menjadi lumpur

bilamana zaman streaming mengubah musik menjadi lumpur

bilamana zaman streaming mengubah musik menjadi lumpur

aku terbangun suatu hari tahun lalu dan saya menyadari bahwasannya saya tak lagi mendengarkan musik. Sebaliknya saya hanya mendengarkan sludge, lagu-lagu yang tak bisa dibedakan yang meniru selera musik saya. Kecanduan saya pada sludge muncul dari daftar putar Spotify yang dikuratori secara algoritme, yang berjanji untuk membantu saya konsentrasi ataupun menemukan musik yang disesuaikan dengan selera saya. Desain aplikasi selalu mendorong saya ke arah itu, jadi saya dengan giat mengikutinya. Semudah itu! Mencari musik yang bagus membutuhkan waktu. tapi dengan twist, daftar putar ini memberi saya makanan tak berujung yang larut ke latar belakang. Itu sering datang dari artis yang belum pernah saya dengar sebelumnya, dan begitu saya memperbarui daftar putar, saya tak akan pernah mencari lagi.

Di beberapa titik tahun lalu, saya memberikan keputusan: berhenti. Saya tak ingin lumpur menjadi soundtrack hidup saya. Alih-alih, saya meluncurkan serangan balik satu wanita yang sejauh ini melibatkan penolakan panggilan Spotify untuk “menemukan” musik baru setiap minggu, mengikuti artis yang saya suka di platform yang lebih kecil seperti SoundCloud, dan menjadikan keputusan drastis untuk membelanjakan $ 50 untuk album vinil itu Saya pasti sudah menyimpannya di ponsel saya.

Saya merasa cukup baik menendang kebiasaan lumpur saya. tapi minggu lalu saya mendengar klip Ariana Grande menyanyikan lagu Rihanna “Diamonds.” Hanya Grande yang tak sesungguhnya nyanyian. Suaranya dihasilkan oleh kecerdasan buatan. Ini yaitu iterasi baru dari lumpur, saya paham. dan itu menjadikan saya mempunyai pikiran tentang peristiwa 20 tahun lalu yang membawa kita ke titik ini, di mana lumpur mengancam mengambil alih streaming musik.

Dua dasawarsa lalu, dua platform musik diluncurkan di dunia maya yang berkembang pesat dan anarkis. Yang perdana yaitu The Pirate Bay, situs berbagi file torrent yang memungkinkan siapa saja untuk menikmati musik tanpa mengeluarkan uang sepeser pun. Yang lainnya yaitu Apple’s iTunes Music Store, sekarang hanya iTunes Store, yang akan memperingati hari jadinya yang ke-20 minggu depan. Dibandingkan dengan The Pirate Bay, menimbun musik di iTunes itu mahal, dengan sebagian besar lagu berharga sekeliling 99 sen.

Peluncuran kedua platform ini, yang mempunyai jarak kurang dari setahun, menandai persimpangan jalan dalam cara kita mengonsumsi musik. Masing-masing arsitek memiliki visi yang jernih tentang hari esok musik online. pada saat saya menjelaskan dengan Peter Sunde, salah satu pendiri The Pirate Bay, minggu ini, dia menyampaikan bahwasannya situs tersebut dibuat untuk menjadikan musik disediakan untuk seluruh orang, berharap (boleh jadi secara idealis) bahwasannya itu akan memberi artis lebih banyak penonton yang mau berbelanja. tiket ataupun merchandise. Proyek Apple, di sisi lain, memberikan penawaran industri musik cara untuk mempertahankan pijakannya di dunia baru yang menakutkan yang diciptakan oleh dunia maya, memperkaya bisnis Apple dan keluar dari kegemaran mengunduh tanpa bayar yang diwakili oleh situs-situs seperti Napster.

iTunes selamat dari Pirate Bay resmi. Situs torrent ditutup pada tahun 2014 dan pendiri Swedia, termasuk Sunde, menghabiskan waktu singkat di penjara disebabkan pelanggaran hak cipta. Tetapi model streaming musik yang menonjol ternyata berada di antara: musik tanpa batas dengan imbalan dana berlangganan (Spotify) ataupun waktu kamu menonton iklan (versi tanpa bayar YouTube). tetapi satu hal tentang iTunes Music Store berkembang biak: Apple sudah mengokohkan lagu sebagai barang berdikari. “tak terdapat yang pernah menjual lagu seharga 99 sen,” kata Steve Jobs kepada Steven Levy dari WIRED, orang yang membawakan acara reguler kamu, pada tahun 2003, menambahkan bahwasannya dia perlu meyakinkan label rekaman bahwasannya ini tak mempunyai arti kematian album.

Label rekaman benar untuk khawatir. keputusan Apple untuk merilis lagu berkontribusi pada kehancuran album. Ini, pada gilirannya, sudah membuka pintu air untuk lumpur, di mana daftar putar memiliki trek yang benar-benar terlepas dari album dan bahkan artis. hambatan paling besar saya dengan budaya daftar putar yang digerakkan oleh algoritme yaitu bilamana formatnya — aliran trek mempunyai perbedaan tanpa akhir yang dirangkai untuk bunyi latar — menjadikan saya merasa bahwasannya musik dapat dibuang dan artisnya dapat dipertukarkan.

Artikel Populer :   Pixel 7 Series memberikan bantuan Google Mencapai "Pekan Penjualan paling baik"